Trekking di Hutan Chiang Mai, Thailand
Salah satu tempat istirahat kami diperjalanan |
Paket sudah termasuk makan selama perjalanan, guide, penginapan, elephant riding (naik gajah), dan bamboo rafting.
Sebelum berangkat, saya packing dan menitipkan koper dihostel saya, sekaligus booking kamar untuk hari saat saya kembali dari trekking. Ransel kecil yang saya bawa hanya berisi pakaian untuk 2 hari. Saya dijemput di hostel dengan pick up yang berdinding dan beratap, semacam songtheow, didalamnya sudah ada 3 orang pria jerman melihat saya dengan senyum-senyum. Setelah mengobrol mereka mengatakan heran karena saya memakai sweater dan syal. Saya menjelaskan bahwa saya datang dari Indonesia yang sangat hangat. Salah satu mereka bertanya dimana Indonesia itu. Pedih rasanya ditanya begitu, mengingat besar dan indahnya negeri tercinta
Selanjutnya mobil menjemput sepasang suami istri dari Inggris dan seorang cewek dari Cina. 6 Orang inilah yang akan menjadi teman perjalanan saya selama trekking.
Si Raksasa yang Imut
Mobil pick up itu menyusuri jalanan yang cukup mulus dan bersih. Namun menjelang sampai, jalanan berkelok-kelok dan tidak terlalu mulus sehingga membuat saya mual. Kami diturunkan disebuah desa untuk membeli apa yang kami butuhkan dijalan, minuman, semilan atau uang tunai. Beberapa menit kemudian kami berhenti untuk elephant riding, atau menunggang gajah. Kegiatan yang banyak ditentang aktifis pemerhati hewan. Saya memahami kegiatan ini adalah eksploitasi terhadap mahluk raksasa itu. Karena mereka harus membawa turis-turis itu dipunggung mereka selagi turis-turis itu berdatangan, tidak penting mereka capek atau tidak. Saya melihat betapa ketatnya tempat duduk untuk turis diikatkan ke punggung dan ekor mereka.
Baca perjalanan saya dikota penuh petualangan: Vang Vieng, Laos
Meski demikian saya masih ikut naik ke punggung gajah itu, setelah terguncang-guncang di mobil selama 2 jam, rasanya duduk terguncang-guncang diatas gajah tak terlalu menyenangkan. Meski binatang ini terlihat menggemaskan, saya teringat bahwa binatang ini bisa jadi sangat berbahaya jika mengamuk. Saya ingin segera turun. Memang tidak terlalu lama, kami sudah kembali dan diturunkan. Total waktu diatas punggung gajah itu sekitar 15 menit. Setelah kami, turis lain sudah menunggu giliran.
Trekking
Makan Sore |
Muka cemong setelah karena dihukum saat permainan |
4 coretan, 4 kesalahan |
Kemudian kami diantar ke sebuah pondok untuk makan siang, kami diberi nasi goreng dalam kantong plastik, mirip plastik untuk bungkus gula pasir di Indonesia. Setelah makan, kami diperkenalkan dengan guide yang akan mendampingi perjalanan kami, dia adalah orang setempat.
Awalnya perjalanan, jalur cukup landai. Setelah 30 menit jalanan mulai menanjak sedikit. Keringat mulai banjir, sweater sudah harus disingkirkan. Hutan tidak lebat, hanya pohon-pohon yang tidak terlalu rapat. Jalan terbuka tanpa semak belukar. Setelah berjalan sekitar 2 jam, kami tiba disebuah air terjun. Disini 3 pria Jerman langsung buka baju dan berenang. Saya walau agak sungkan karena dingin, akhirnya nyemplung juga.
Perjalanan dilanjut menuju desa tempat kami akan menginap. Saya melanjutkan perjalanan dengan baju basah karena susah mencari tempat untuk bertukar pakaian. Sekitar 1 jam berjalan kami sudah tiba di desa tempat kami menginap
Suku Karen
Di desa itu berdiri rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu. Ada rumah yang cukup besar, ada yang sangat kecil, yang terlihat seperti pondok. Kolong rumah-rumah ini dibuat cukup tinggi sehingga mereka bisa beraktifitas disana. Saya melihat mereka menenun, dan duduk bersantai disana. Beberapa kolong ada tempat tidur ayun (hammock)nya. Suku ini masih menggunakan pakaian tradisional sehari-hari di. Pakaian warna-warni itu adalah hasil tenun secara manual yang merangkai helai demi helai benang satu persatu
Kami menginap disebuah kabin, sebuah pondok dengan dinding dan atap, tanpa pintu, dimana didalamnya berjejer tempat tidur yang dilengkapi dengan kelambu. Didepan kabin ada sebuah teras yang ada tempat duduk dan meja. Disini kami bersitirahat dan menikmati minuman ringan yang harus kami bayar sendiri (diluar paket)
Thom, guide kami memperkenalkan 2 anak perempuan memakai pakaian putih khas suku karen, pakaian putih adalah pakain untuk mereka yang belum menikah. Jika telah menikah bajunya menjadi warna-warni (kok kayak ngejek yang jones ya, kayaknya mau bilang kalo masih jones hidupnya tak berwarna? #MulaiBaper)
Baca Perjalanan Saya Mengunjungi Kuil Terindah di Dunia
Suku Karen, adalah kelompok etnis pemakai bahasa Tiongkok-Tibet yang utamanya tinggal di Negara bagian Karen, selatan dan tenggara Myanmar. Sejumlah besar suku Karen menjadi imigran beberapa ratus tahun yang lalu di Thailand. Thom selalu menyebut sukunya dengan sebutan "hill people" atau orang bukit. Tapi suku Karen yang tinggal diperbukitan ini tidak ada yang memakai gelang dileher seperti yang kita tahu. Meski bukan asli orang Thailand, Thom sama seperti orang Thailand lainnya yang sangat memuja raja mereka. Dia mengungkapkan betapa baiknya sang raja kepada suku perbukitan. Sebenarnya saya banyak bertanya tentang suku Karen kepada Thom, tapi saya sering tidak mengerti dengan penjelasan dia. Bahasa inggrisnya memang cukup terbatas
Malamnya kami melakukan permainan tepuk meja yang melibatkan semua peserta trekking dan guide. Siapa yang membuat kesalahan dihukum dengan coretan dengan tinta dari periuk yang hitam, ada videonya disini
Lanjutan cerita trekkingnya nya disini
Video trekking bisa dilihat disini (Day 1)
Day 2
Baca Berbagai Kesan Saya Menginap di [penginapan murah] Hostel
Cara menyebrang Perbatasan Thailand dengan Laos
2 comments
Jadi nasi gorengnya dimasukkin kantong plastik trus kita makan dari situ mba? *tak terbayangkan*
ReplyDeleteRahmi: iya mbak, tapi pake sendok kok hehehe...
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir, silahkan tinggalkan pesan untuk tulisan ini yaa. Terimakasih